Suara bajaj yang meraung-raung berhasil menteror saya untuk segera bergegas menuju ke lobi homestay. Di sana sudah menunggu seorang lelaki berperawakan tinggi dan tegap. Dengan senyum ramahnya, dia menyambut saya dan mempersilahkan masuk ke dalam kendaraan roda tiga itu.
Ini pertama kalinya saya naik bajaj di Sri Lanka. Sekilas, penampakannya mirip dengan kebanyakan bajaj di Indonesia. Namun, ada satu perbedaan yang cukup unik. Bajaj di Sri Lanka hanya punya satu penutup pintu di bagian sisi kiri penumpang. Sementara di bagian sisi kanan pintu bajaj dibiarkan terbuka sebagai jalan masuk penumpang.
Sore itu saya diantar ke Puncak Mihintale untuk sekedar trekking tipis-tipis dan menikmati senja yang indah dari atas bukit. Dari pusat kota suci Anuradhapura di Sri Lanka, Puncak Mihintale kurang lebih dapat ditempuh selama hampir 30 menit perjalanan saja.
Menurut sejarah, di Puncak Mihintale ini pertama kalinya Raja Devanampiya bertemu Mahinda, sang pendeta Buddha. Setelah pertemuan itu, sang raja bertransformasi menganut ajaran Buddha. Maka, sejak saat itulah agama Buddha mulai menyebar di Sri Lanka.
Pertemuan antara Raja Devanampiya dengan pendeta Buddha ini dipercaya terjadi saat bulan purnama di bulan Juni tahun 247 sebelum masehi. Sehingga, selama purnama di bulan Juni banyak peziarah mengunjungi Mihintale untuk bermeditasi di puncak bukit.
Dengan segala goncangan yang saya alami hampir setengah jam lamanya, kaki saya masih kokoh menapak di tanah. Namun, perjuangan masih belum selesai. Saya harus menaiki ribuan anak tangga untuk menuju puncak bukit. Selain itu, karena saya akan memasuki kawasan suci, maka saya pun harus rela melepas sepasang alas kaki saya dan menitipkannya ke penjaga.

Bangunan Suci di Puncak Mihintale
Sesampainya di puncak, saya bisa merasakan betapa kuatnya nuansa religius di tempat ini. Beberapa bangunan suci bersejarah seperti patung Budha, stupa, dan bahkan gundukan batu besar yang menyerupai bukit bisa ditemukan di sini.
Salah satu spot paling ekstrim untuk ditakhlukkan adalah Aradhana Gala, yaitu batu raksasa yang menyerupai bukit. Untuk bisa naik ke puncak Gala, kita harus menaiki anak tangga kecil, sempit, dan curam. Belum lagi jika harus berpapasan dengan wisatawan lainnya. Tak jarang diantara kita harus ada yang rela mengalah demi lancarnya arus pergerakan orang yang naik dan turun dari puncak.



Sore yang Indah Bersama Senja yang Cantik
Ketika semburat senja sudah mulai tampak, saya bergegas menuju anak tangga ke puncak Maha Stupa. Di sinilah salah satu spot favorit wisatawan untuk bersantai dan menikmati senja. Dibandingkan dengan Puncak Gala, area Maha Stupa jauh lebih luas. Jadi, wisatawan bisa lebih nyaman dan leluasa bergerak di tempat ini.

Tak berapa lama setelah mengambil posisi duduk yang pas, di hadapan saya mulai tersaji sebuah pemandangan yang indah dan menyejukkan. Senja yang menyapa dengan cantik dari balik dedaunan menjadi pertunjukkan indah yang saya saksikan sore hari itu di Mihintale.
Bagi saya menikmati senja di Mihintale terasa sangat spesial. Pengalaman selama perjalanan menuju ke tempat ini sungguh mengesankan. Mungkin senja secantik ini bisa ditemui di banyak tempat lainnya. Namun, setiap tempat pasti memiliki cerita uniknya sendiri termasuk di Mihintale ini.

Tak terasa senja perlahan mulai pamit. Langit yang merah mulai berganti gelap. Mulai banyak wisatawan yang turun untuk bergegas pulang. Sebelum beranjak pulang, tak lupa saya mengabadikan momen antara saya dan langit yang mulai gelap.
Trip singkat saya ke Mihintale meskipun melelahkan namun mengesankan. Pertama, mulai dari menjadi penumpang bajaj berpintu sebelah. Lalu, menaiki ribuan anak tangga tanpa alas kaki. Terakhir, bersantai menikmati senja yang indah di puncak bukit. Semua pengalaman itu sunguh tak terlupakan.
